PENGANGGURAN

Konferensi Internasional VIII ?Ahli Statistik Perburuhan? yang diselenggarakan di Jenewa pada 1954 menyatakan, “Penganggur adalah seseorang yang telah mencapai usia tertentu yang tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan agar memperoleh upah. Sebagian penganggur siap bekerja tetapi tidak mencari pekerjaan.” Salah satu sebab tingginya tingkat pengangguran adalah besarnya arus migran masuk kota.

Masalah pengangguran, baik itu pengangguran terselubung ataupun bukan, saat ini sangat krusial karena pertumbuhan tenaga kerja di kota lebih besar dari peningkatan kesempatan kerja. Kekurangan lapangan pekerjaan dirasakan bagi mereka yang berusia 18 sampai 25 tahun. Sebab, mereka umumnya berpendidikan lebih tinggi dari orang tuanya. Sehingga cenderung bertahan agar dapat memperoleh pekerjaan dengan upah tinggi.

Fenomena Terjadinya Pengangguran

Beberapa latar belakang terjadinya pengangguran di antaranya:

* Besarnya arus urbanisasi

* Pemutusan hubungan kerja.

* Terbatasnya lapangan pekerjaan.

* Pemulangan tenaga kerja (TKI).

* Banyaknya lulusan perguruan tinggi yang belum siap bekerja dan berwirausaha.

* Kurangnya keterampilan individu menghadapi persaingan kompetitif.

* Pengangguran acap kali dihubungkan dengan isu globalisasi dan akibat  dari kapitalisme.

Tingginya Tingkat Pengangguran

Peluang kerja sebenarnya banyak sekali, asalkan kreatif. Makanya, tidak heran tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi dua kali lebih tinggi daripada yang berpendidikan rendah. Salah satu alasannya karena mereka yang berpendidikan tinggi gengsi untuk menerima upah yang rendah. Sementara di sisi lain, pengusaha lebih suka memperkerjakan lulusan SMA karena mau dibayar murah dan bisa dilatih untuk bekerja terampil.

Bahaya laten pengangguran menyebabkan depresi massal, sikap mengambil jalan pintas dengan bunuh diri karena tidak sanggup menghadapi tekanan hidup. Namun, sebagai umat beragama selayaknya yakin bahwa Tuhan tidak akan membebani manusia di luar kesanggupannya memikul beban.

Kembali kepada persoalan pengangguran. Di negara berkembang terdapat kelebihan tenaga kerja yang berebut mendapatkan pekerjaan istimewa. Para pekerja biasanya dilindungi dari eksploitasi sewenang-wenang melalui peraturan upah minimum dan tunjangan.

Upah tidak dapat jatuh pada tingkat tertentu dan biasanya meningkat sejalan dengan atau lebih dari tingkat inflasi. Ini merupakan suatu perangsang bagi para industrialis untuk menggunakan mesin padat modal. Dampak lainnya adalah mendorong arus penduduk dari pedesaan ke perkotaan karenanya produksi dan konsumsi lebih berdaya guna di perkotaan. Pengangguran Terselubung

Para pengangguran, terkadang begitu ramai terlihat ketika ada informasi penerimaan CPNS (pegawai negeri sipil) dan acara-acara semisal/ job fair/ yang pengunjungnya mencapai puluhan ribu dalam sehari. Namun tetap saja para pencari kerja tidak mendapatkan pekerjaan. Padahal, yang datang kebanyakan adalah lulusan perguruan tinggi. Hal ini yang disebut pengangguran terselubung.

Hal lainnya ketika berlangsung penerimaan mahasiswa baru. Ini juga sebuah pertanda bagi pengangguran berikutnya. Pada beberapa perguruan tinggi, wisuda bisa dilakukan sampai dua atau tiga kali dalam setahun. Katakanlah, setiap satu perguruan tinggi dalam setahun meluluskan seribu mahasiswanya. Maka akan semakin banyak pencari kerja, dan persaingan memperebutkan laha pekerjaan semakin ketat. Ini yang disebut pengangguran terselubung. Suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkuri lagi. Tanggung jawab Siapakah ini?

Posted in Uncategorized | Leave a comment

KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan “berlawanan” pula. Perbedaan masyarakat pedesaan dan perkotaan adalah:

Masyarakat Pedesaan
1).Perilaku homogen

2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan

3).Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status .

4).Isolasi sosial, sehingga static

5).Kesatuan dan keutuhan cultural

6).Banyak ritual dan nilai-nilai sacral

7). Kolektivisme

Masyarakat Kota:

1). Perilaku heterogen

2).Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan 3).Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi

4).Mobilitassosial,sehingga dinamik

5).Kebauran dan diversifikasi cultural

6).Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular

7).Individualisme

Dalam kehidupan social masyarakat perkoataan jauh berkembang dari masyarakat pedesaan, akan tetapi dalam kehidupan bersosialisasi, masyarakat pedesaan lebih mudah bersosialisasi dengan daerah sekitar mereka tinggal, bahkan orang yang hidup di pedesaan mereka tidak hanya mengenal tetangga di desa meraka saja bahkan keluar dari desa mereka pun mereka tetap saling mengenal, ketimbang masyarakat perkotaan tetangga samping merekapun belum tentu mereka kenal, hal ini disebabkan kehidup di perkotaan yang hanya mementingkan diri sendiri

Posted in Uncategorized | Leave a comment

MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB DALAM KEHIDUPAN

Anda tentunya seringkali mendengar istilah TANGGUNG JAWAB, bukan? Makna dari istilah “tanggung jawab” adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.

Banyak orang mengelak bertanggung jawab, karena memang lebih mudah menggeser tanggung jawabnya, daripada berdiri dengan berani dan menyatakan dengan tegas bahwa, “Ini tanggung jawab saya!” Banyak orang yang sangat senang dengan melempar tanggung jawabnya ke pundak orang lain.

Oleh karena itulah muncul satu peribahasa, “lempar batu sembunyi tangan”. Sebuah peribahasa yang mengartikan seseorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sehingga dia membiarkan orang lain menanggung beban tanggung jawabnya. Bisa juga diartikan sebagai seseorang yang lepas tanggung jawab, dan suka mencari “kambing hitam” untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perbuatannya yang merugikan orang lain.

Sebagian orang, karena tidak bisa memahami arti dari sebuah tanggung jawab; seringkali dalam kehidupannya sangat menyukai pembelaan diri dengan kata-kata, “Itu bukan salahku!” Sudah terlalu banyak orang yang dengan sia-sia, menghabiskan waktunya untuk menghindari tanggung jawab dengan jalan menyalahkan orang lain, daripada mau menerima tanggung jawab, dan dengan gagah berani menghadapi tantangan apapun di depannya.

Banyak kejadian di negara kita ini, yang disebabkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, malah sering dimenangkan atau diberikan bantuan berlebihan oleh lingkungannya dengan sangat tidak masuk akal. Sungguh sangat menyedihkan. Di masa kini, kita memiliki banyak orang yang mengelak bertanggung jawab; karena mereka ini mendapatkan keuntungan dari sikapnya itu.

Dan yang sangat ironis, “lepas tanggung jawab” itu sering didukung oleh lingkungan dekatnya, teman temannya, anak buahnya, atasannya, anak kandungnya, bahkan didukung oleh istri atau suaminya. Anda bisa lihat, misalnya, korupsi, dan manipulasi. Sebagian besar orang-orang di lingkungan dekatnya pasti mendukungnya, karena mereka semua pasti ikut merasakan hasil-hasil dari korupsi atau manipulasi itu.

Saya bekerja sambil melanjutkan kuliah, dengan tujuan ingin mencapai gelar srata satu, itu yang membiayai adalah orang tua dan saya harus bertanggung jawab atas pilihan saya menjalankan keduanya sekaligus, di samping pekerjaan saya juga butuh waktu yang lama dan tidak bisa di sambi oleh tugas2 kuliah, jadi saya harus mengorbankan waktu istirahat malam saya untuk sebuah tugas kuliah…karna biaya kuliah dari orang tua jadi saya memperioritaskan kuliah saya, tapi saya tetap bertanggung jawab atas pekerjaan saya yang telah saya pilih.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

INDIVIDU, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

BATIK MERUPKAN WARISAN BUDAYA INDONESIA YANG DIAKUI DUNIA

Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan

Batik memang sempat menjadi hal yang kontroversial. Siapa sebenarnya pemilik sah batik? Banyak negeri memang punya batik, bahkan termasuk di Eropa sana. Kemudian yang belakangan ramai, Malaysia mengklaim beberapa motif batik yang nyata-nyata itu milik Indonesia seperti parang rusak, misalnya. Indonesia memang tak tinggal diam untuk memperjuangkannya. Dan, perjuangan itu kini membuahkan hasil. Yupzzz, hari ini Pengukuhan batik Indonesia oleh UNESCO akan dilakukan. Presiden Yudhoyono sendiri yang akan mendeklarasikannya secara resmi, kata Mohammad Nuh, Menteri Ad-Interim Kebudayaan dan Pariwisata. Sebelumnya, kekayaan budaya Indonesia yang sudah dicatat sebagai warisan dunia oleh UNESCO adalah keris dan wayang. Proses pengukuhan batik Indonesia cukup panjang. Berawal pada 3 September 2008 yang kemudian diterima secara resmi oleh UNESCO pada tanggal 9 Januari 2009. Tahap selanjutnya adalah pengujian tertutup oleh UNESCO di Paris pada tanggal 11 hingga 14 Mei 2009.

Kegiatan yang terkait tentang batik ditumbuhkembangkan termasuk simpul pasar khusus yang menjajakan batik seperti Pasar Grosir batik dan Kampung Batik Kauman. Di sisi lain pendidikan batik secara formal pun dibuka seperti berdirinya pendidikan batik Pusmanu dan SMK Batik. Bahkan batik menjadi muatan lokal di sekolah. Sedangkan keberadaan museum batik telah dimanfaatkan sebagai pelatihan membuat batik bagi para pelajar. Juga kepada pengunjung sebagai upaya pelestarian generasi batik. Keterpaduan inilah yang membuat Kota Pekalongan menjadi acuan embrio diakuinya batik sebagai warisan budaya dunia.

JENIS-JENIS BATIK

  • Batik tulis adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik menggunakan tangan. Pembuatan batik jenis ini memakan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
  • Batik cap adalah kain yang dihias dengan teksture dan corak batik yang dibentuk dengan cap ( biasanya terbuat dari tembaga). Proses pembuatan batik jenis ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 hari.
  • Batik lukis adalah proses pembuatan batik dengan cara langsung melukis pada kain putih.

 

 

Menurut asal pembuatan

Batik Jawa

batik Jawa adalah sebuah warisan kesenian budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun temurun. Batik Jawa mempunyai motif-motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarnakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka, yaitu penganut agama animisme, dinamisme atau Hindu dan Buddha. Batik jawa banyak berkembang di daerah Solo atau yang biasa disebut dengan batik Solo.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

AGAMA DAN MASYARAKAT

KAWIN KONTRAK  DI KALANGAN WANITA MUDA DI DAERAH  PUNCAK DENGAN WARGA ARAB

 

Bulan Mei ini kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, bakal dibanjiri turis asal Timur Tengah, terutama dari Arab Saudi, Irak, dan Iran. Mereka biasanya menghabiskan waktu liburan di sana hingga tiga bulan berikutnya.

Selama musim liburan tersebut, para turis tersebut tinggal di sejumlah hotel dan wisma di daerah Tugu Selatan dan Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Situasi ini selalu terjadi setiap tahunnya, sehingga warga setempat kerap menyebutnya sebagai ’Musim Arab’.

Selama mereka tinggal di daerah Warungkaleng, Tugu Utara. Di sini juga ada wilayah yang dinamakan perkampungan Arab.

Meskipun musim Arab baru akan dimulai Mei, tapi beberapa bulan sebelumnya sudah banyak vila, wisma, dan hotel kelas melati yang sudah dipesan. Bagi warga setempat, membanjirnya turis asal Timur Tengah membawa berkah tersendiri. ”Selain tempat penginapan penuh, rental mobil juga laku, turis Arab yang berlibur di kawasan Puncak bisa menghabiskan uang hingga miliaran rupiah. Untuk berbelanja, makan, minum, transportasi, dan sejenisnya turis tersebut bisa menghabiskan Rp 3-5 juta per hari. ”Mereka biasanya datang secara berkelompok.

Di musim Arab ini, warga pun memanfaatkannya dengan membuka usaha makanan asal Timur Tengah. Pasalnya, turis Arab kurang begitu suka dengan makanan Indonesia. ”Mereka lebih suka makanan atau minuman asli negaranya, makanya di sini banyak toko makanan dan restoran dengan menu yang bertuliskan Arab.

Sekretaris Himpunan Pemandu Indonesia (HPI) Kabupaten Bogor Teguh Mulyana, mengatakan, musim Arab juga membawa berkah bagi para pemandu wisata. Namun, para guide tersebut tidak dibekali dengan standar seorang pemandu yang profesional, sehingga justru ada pemandu yang merugikan turis tersebut. ”Banyak warga yang fasih berbahasa Arab kemudian menjadi guide, termasuk menjadi penunggu vila,” kata Teguh Mulyana.

Namun, katanya, tidak sedikit turis asing yang berperilaku nakal selama berlibur di kawasan Puncak. ”Turis Arab rata-rata nakal. Sebagiannya sering ’jajan’ atau memesan perempuan. Dan sebagian yang lain ada saja yang melakukan kawin kontrak dengan warga sekitar, dengan biaya antara Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Itu baru mahar, belum kebutuhan sehari-hari lainnya yang pasti dicukupi oleh si turis itu,” ujarnya

 

 
Adapun syarat- Kawin Mut’ah atau kawin kontrak adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan ini cukup dengan akad (transaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi!

2. Laki-laki terbebas dari beban nafkah!

3. Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita!

4. Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris!

5. Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan!

6. Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu! 7. Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak!

Pernikahan didalam Islam bernilai ibadah, karena bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang damai ( sakinah ), keluarga yang saling mencintai ( mawaddah) dan keluarga yang saling kasih mengasihi ( rahmah ). Tetapi kawin kontrak atau kawin Mut’ah dilarang dan diharamkan didalam Islam . Pengharaman didalam Islam dikarenakan dalam kawin kontrak atau kawin Mut’ah hanya bertujuan untuk mencari kesenangan belaka, dan hanya ingin menyalurkan hasrat seksualnya.

Dalam kawin kontrak perempuan dianggap hanya sebagai objek belaka, yang hanya dipakai untuk kesenangan semata-mata, tanpa mempunyai hak waris seperti yang mereka alami dalam perkawinan yang sebenarnya. Perempuan dianggap bagaikan suatu barang yang bebas dipakai dan diperjual belikan . betapa bodohnya perempuan-perempuan kita.

Mereka tanpa memandang halal ataupun haram lagi yang penting kesenangan bisa didapatkan dengan mudah dan menghasilkan banyak uang . yang ada dipikiran mereka kemungkinan hanya harta dan benda, yang mereka kira dapat dinikmati untuk selama-lamanya, tetapi tanpa mereka sadari kematian yang tidak diketahui kapan tiba waktunya dan kapan tiba datangnya akan mengakhiri kenikmatan mereka didunia.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

ILMU SOSIAL DASAR

ISD MERUPAKAN BAGIAN DARI MKDU

Ilmu Sosial Dasar (ISD) adalah salah satu mata kuliah dasar umum (MKDU) yang merupakan mata kuliah wajib yang diberikan oleh perguruan tinggi negri maupun swasta. MKDU terdiri dari beberapa mata kuliah yaiyu : Agama, Kewarganegaraan, Pancasila,  Kewiraan, IBD, dan ISD.

Tujuam diberikannya mata kuliah ISD

Sebagai salah satu usaha yang dapat memberikan bekal kepada mahasiswa untuk dapat peduli terhadap masalah-masalah social yang terjadi dilingkungan dan dapat memecahkannya dengan menggunakan pendekatan ISD.

Secara khusus:

Untuk menghasilkan warga Negara sarjana yang:

  1. Berjiwa Pancasila
  2. Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
  3. Memiliki kemampuan komprehesif dan pendekatan integral di dalam menyikapi permasalahan kehidupan baik social, politik maupun pertahanan keamanan
  4. Memiliki wawasan budaya yang luas dalam tentang kehidupan bermasyarakat dan secara bersama-sama maupun berperan serta meningkatkan kualitasnya maupun lingkungan alamiahnya dan bersama-sama berperan serta dalam pelastariannya.
Posted in Uncategorized | Leave a comment

WARGA NEGARA DAN NEGARA

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA INDONESIA (TKI)

Taga kerja adalah pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi baik secara individu maupun secara kelompok, sehingga mempunya peran yang sagat signifikan dalam aktivitas perekonomian nasional yaitu meningkatkan produktifitas dan kesejahtraan masyarakat. Di indonesia tenaga kerja sebgai salah satu penggerak tata kehidupan ekonomi dan merupakan suber daya yang jumlahnya cukup melimpah. Indikasi ini dapat dilhat dari masibanyaknya jumlah pengangguran diindonesia dan masih rendahnya atau minimnya kesempatan kerja yang tersedia.

Indonesia adalah masyarakat yang tengah mengalami transformasi struktural yaitu dari masyarakat yang berbasis pertanian beralih ke industri. Kondisi perekonomin yang kurang menarik di negaranya sendiri dan peghasilan yang cukup besar dan yang tampak lebih menarik di negara tujuan telah menjadi pemicu terjadinya mobilitas tenaga kerja secara internasional. Pendapatan yang meningkat dinegara yang sedang berkembang memungkinkan penduduk dinegara bekembang untuk pergi melintas batas negara. Informasi yang sudah mendunia dan kemudahan teransportasi juga berperan meningkatkan mobilitas tenaga kerja secara internasional.

Banyak masyarakat indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dan bekerja di perkebunan dan tidak sdikit pula para TKI yang terkena masalah hukum di tempat mereka bekerja, sampai baru-baru ini salah satu TKI di arab saudi di hukum pancung, yang lebih ironisnya pemerintah indonesia melalui kedubes RI di arab tidak tahu sama sekali warga negaranya di hukum pancung.

tanggung jawab negara pengirim, negara penempatan dan individu TKI itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah di luar negeri, dalam hal ini negara harus terlebih dulu memenuhi hak setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan di dalam negeri. Ada hal-hal yang perlu disepakati terlebih dulu dimana hal yang paling penting adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM). HAM bagi warga negara Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri yang pertama-tama harus dipenuhi adalah hak untuk memperoleh pekerjaaan di dalam negeri. Apalagi karena kebijakan penghentian pengiriman TKI ke luar negeri atau moratorium itu seringkali ditentang karena alasan melanggar HAM warga negara untuk bekerja di luar negeri. Jadi meskipun ada konvensi mengenai free movement, tetap saja kita harus memperhatikan mengenai pemenuhan hak warga negara di dalam negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Akar permasalahan TKI sebenarnya disebabkan oleh pengelola negara yang berwatak swasta. Oleh karenanya regulasi mengenai TKI itu rumusannya adalah peraturan penempatan dan perlindungan, dimana seolah-olah perlindungan TKI itu menjadi sub ordinat dari penempatan TKI. Seharusnya yang menjadi prioritas itu adalah perlindungan terhadap TKI sejak dari calon TKI direkrut, diberangkatkan, ditempatkan, hingga pemulangan kembali ke keluarganya di tanah air. Harus ada pemilahan yang jelas antara peran dan tanggug jawab negara pingirim, negara penempatan dan calon TKI individunya seendiri. Dengan demikian maka RUU tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT) itu menjadi penting, argumennya adalah bahwa mayoritas TKI di luar negeri adalah pekerja sektor informal atau Pekerja Rumah Tangga. Lalu bagaimana kemudian kita menuntut bahwa TKI di luar negeri harus dilindungi apabila PRT didalam negeri sendiri belum terlindungi. Paling tidak kita harus mengupayakan agar PRT itu diperlakukan sebagai suatu profesi yang memiliki hak dan kewajiban. Dan dalam konteks TKI, pengakuan PRT sebagai profesi diharapkan dapat melindungi hak mereka sebagai pekerja.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

RESUME FILM – KEKERASAN DALAM PACARAN

Kekerasan Dalam Pacaran

 

Cerita ini berawal dari seorang gadis berumur belasan tahun yang kesepian dan mencari kesibukan di luar rumah dengan bekerja di suatu training center, sambil bekerja sebut saja Melati namanya, dia juga berkuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Singkat cerita Melati berkenalan dengan pemuda bernama Jaka teman kampusnya, dan merekapun menjadi sepasang kekasih tanpa diketahui kedua orang tua Melati istilah anak jaman sekarang “Backstreet”.

        Sosok Jaka digambarkan sebagai kekasih yang penuh perhatian, sayang kepada Melati, tetapi mempunyai sifat posesif, pencemburu, mudah terpancing emosi dan suka main tangan. Seringkali bila terjadi keributan di antara mereka, Jaka mengeluarkan lontaran cacian dan makian bahkan tak segan-segan memukul Melati. Jaka mendapat pengaruh seperti ini karena sering melihat percekcokan orang tuanya.
Selain mendapatkan kekerasan secara fisik, Melati juga menerima  kekerasan ekonomi. Sampai pada akhirnya Melati tak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan tak sehat ini.
Dari cerita di atas dapat disimpulkan korban atau pelaku kekerasan dalam pacaran (KDP) bisa dialami oleh siapapun baik itu seseorang yang berpendidikan tinggi sampai dengan rendah, status social dari tingkat atas sampai bawah, suku, agama, ras dan sebagainya.

KDP mempunyai siklus, jad harus ada pihak ketiga untuk membantu pencegahan KDP.

Beberapa cara pencegahan KDP :

1.    Pihak korban harus berani mengatakan ‘tidak’ atau menolak.

2.    Pihak korban harus didampingi oleh sahabat/teman dekat.

3.     Adanya komunikasi dengan keluarga, dalam hal ini kedekatan dan komunikasi dengan orang tua perlu dijain.

4.     Lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagai pendamping bilamana dibutuhkan dari sisi hukum.

5.    Menciptakan suasana harmonis dan kondusif antar anggota keluarga.

6.   Setiap korban mengalami kekerasan, abasikan bekas-bekas kekerasan itu dalam sebuah foto. Hal ini akan sangat membantu karena bisa dijadikan sebagai bukti yang konkrit.

7.   Buatlah catatan tiap kali kekerasan terjadi.

8.   Hubungi orang terdekat atau mereka yang bisa dipercaya.

9.   Jangan ragu untuk menghubungi pihak berwajib, jika memang keselamatan diri terancam.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETNOSENTERIS

Peristiwa Spesifik Terkait dengan Diskriminasi Rasial terhadap Kalangan Tionghoa

Pengertian “Etnis Tionghoa, istilah Tionghoa yang dipergunakan dalam tulisan ini kebanyakan berasal dari dialek Min [Hokkian] berlogat Chuan Ciu yang lebih familiar didengar di Jawa dan Sumatera ketimbang dialek Pu Tong Hua {Mandarin; meskipun menjadi dialek resmi] atau Hakka [meskipun jumlahnya juga cukup besar di Indonesia]. Pemakaian istilah lain seperti penyebutan nama Dinasti Ming [Mandarin] ketimbang dinasti Beng [Hokkian], adalah dikarenakan pemakaian istilah itu lebih populer dipergunakan sehari- hari) Persoalan utama penegakan HAM di Indonesia dalam hal perlawanan terhadap diskriminasi rasial, adalah banyak diakibatkan kepentingan politik elit yang memang berdiri sebagai akibat penindasan terus- menerus kepada komponen rakyat yang seharusnya diayomi dan dilayaninya. Sejarah Indonesia tidak pernah lepas dari pertentangan berdarah dan penindasan yang menyertai. Tidak ada suatu sikap jantan untuk benar-benar mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan dan merekonstruksinya. Yang ada hanya pernyataan demi pernyataan tanpa jalan keluarnya. Tidak usah jauh-jauh, peristiwa 14 Mei 1998 yang memiliki kaitan dengan persoalan stereotyping terhadap kalangan Tionghoa (meskipun ada sisi lainnya yang juga patut diperhitungkan mengingat jumlah korban pembakaran dari “etnis lainnya” yang diperkirakan akibat tindakan terorganisasi dari “pelaku berambut cepak dan berbadan tegap” [lihat Laporan Eksekutif Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 14 Mei 1998], dapat juga dilihat misalnya buku Negeri dalam Kobaran Api, LSPP, 1999 juga buku 14 Mei Disangkal, Komnas Perempuan, 2002) ternyata tidak kunjung mendapatkan penyelesaian yang memuaskan. Sementara korban traumatik dipaksa untuk terus bersembunyi dari dunia luar, pelakunya tidak juga diselidiki.

Selain itu, persoalan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) pun ternyata masih mengganjal. Bahkan terakhir kalinya setelah berbulan-bulan polemik yang dipicu oleh permasalahan bintang bulu tangkis Indonesia Hendrawan, diikuti dengan serangkaian penegasan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri dan berbagai rapat dan koordinasi yang dilakukan oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia kepada berbagai instansi teknis di bawah Departemen yang bersangkutan, ternyata hasilnya masih tidak seragam di daerah-daerah (lihat juga misalnya surat kabar Tempo tanggal 25 Mei 2004, Jakarta Post 1 Agustus 2004, Kompas 5 Mei 2004 sebagai contoh mutakhir permasalahan SBKRI). Padahal penegasan tidak dipergunakannya lagi SBKRI sudah jauh-jauh hari ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 56 tahun 1996. Kenyataannya, aparat di lapangan sendiri yang menghambatnya dengan berbagai alasan pembenar dan pemaaf. SBKRI sendiri praktis secara de facto lebih dominan ditujukan kepada kalangan Tionghoa dan bukan kepada etnis lainnya (misalnya Arab, Afrika, India atau Kaukasoid), yang akhirnya menjadi ganjalan sedemikian panjang terhadap persoalan penerimaan keanekaragaman yang seharusnya dilatarbelakangi falsafah Bhinneka Tunggal Ika yang memberikan ruang apriori yang nyata kepada kalangan Tionghoa tersebut. Kenyataan menunjukkan bahwa stereotyping terhadap kalangan Tionghoa tersebut tidak lain dilatarbelakangi oleh kepentingan politik penguasa untuk mencari kambing hitam atas berbagai persoalan yang terjadi. Hal itu terlihat sangat parah terjadi dalam era Orde Baru yang secara berturut-turut telah mengeluarkan berbagai produk hukum yang sangat diskriminatif terhadap kalangan Tionghoa.

Peristiwa penindasan oleh negara yang sempat terjadi dalam masa Orde Lama dulu mungkin masih dapat dipahami dalam kerangka revolusi dan pergolakan dunia yang menyertainya dan mungkin juga sebagai rentetan dari provokasi kalangan kolonial dalam politik devide et impera-nya, karena era kesederajatan pada waktu itu baru terbentuk dan semangat revolusioner sedang menyala-nyala, ditambah oleh kenyataan bahwa persoalan politik adalah kawah penggodokan yang memang menuntut kedewasaan kenegaraan yang bertahap sebagai pembentukan karakter kebangsaan. Meskipun demikian, peristiwa pembantaian yang terjadi terhadap kalangan Tionghoa dalam jumlah massal di Tangerang, Mauk, Karawaci, Serpong, Krawang, Banten, Medan, Bagan Siapi-api, Cirebon, Kuningan, Garut, Sukabumi, Kuningan, Tasikmalaya, Banyumas, Pekalongan, Tegal, Purwokerto, Cilacap, Gombong. Salatiga, Jember, Malang, Menado, dan sebagainya sekitar tahun 1946-1948 sebagai hasil reaksioner atas tindakan polisional Belanda (untuk lengkapnya, sebagian dapat dibaca pada buku Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2002 atau Kwee Thiam Jing, Tjamboek Berdoeri, Indonesia dalem Api dan Bara, 1947, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Julianto Ibrahim, 2004 juga Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946) dari Andjaewati Noordjanah, 2004) harus dibaca sebagai pertanda mudahnya terjadi provokasi untuk mengadakan serangan terhadap kalangan Tionghoa dengan memanfaatkan isu-isu perbedaan yang tercipta sebagai akibat stereotyping yang keliru terhadap kalangan tersebut.

Selain itu dalam era orde lama dan transisi ke arah orde baru, persoalan serupa juga dapat ditemui di Kalimantan bagian Utara dan Menado yang menunjukkan mudah dipancingnya persoalan chauvinisme dan xenophobia terhadap kalangan Tionghoa oleh mereka yang diprovokasi secara ekonomi ataupun politik (misalnya kasus PGRS/Paraku, atau juga kasus berdirinya Republik Singapura dan penyusupan dua marinir Indonesia untuk menggagalkan pembentukan negara tersebut namun tertangkap dan kemudian dihukum mati di sana yang diprovokasi oleh propaganda perang dingin, periksa juga dokumen rahasia CIA yang dibukakan tahun 1998). Selain itu dalam era Orde Lama, patut juga dicatat terjadinya pembuatan sebuah Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1959 tentang Larangan bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Karesidenan, yang merupakan salah satu puncak diskriminasi yang dikuatkan dalam bentuk aturan-aturan hukum oleh rezim Orde Lama dari perkembangan Politik Anti Tionghoa yang berkembang pada saat itu (lihat juga karya Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, 1960), padahal jelas sekali dalam ungkapan yang diberikan oleh Pramoedya: “[Orang-orang Tionghoa] bukan pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga. Tapi karena sesuatu tabir politik, tiba-tiba menjadi orang asing yang tidak asing. Bahaya dari PP tersebut adalah sisi stereotyping-nya yang tidak dapat membedakan mana yang warga negara dan mana yang bukan, gebyah uyah, sementara efek dari pengejaran rasial dan pembuatan lokalisasi gheto tersebut adalah hancurnya perekonomian Indonesia yang disuplai oleh tenaga kalangan Tionghoa yang menjadi pedagang kelontong, pedagang kecil bahkan penjaja keliling yang selama itu melayani kebutuhan hidup masyarakat di pelosok-pelosok yang ada. Sementara itu, yang disebut kalangan pribumi ternyata tidak mampu, bahkan sebenarnya segan untuk menggantikan fungsi pekerja keras dalam perdagangan yang selama itu dijalankan oleh kalangan Tionghoa! Dalam orde yang sama, terjadinya peristiwa kerusuhan rasial di Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bogor, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, tidak dapat dilepaskan dari sentimen yang menguat dalam rangkaian Politik Anti Tionghoa sebagaimana digambarkan di muka (bandingkan dengan hasil penelitian Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi oleh Selo Soemardjan dkk), yang disebabkan oleh permasalahan sepele yang terjadi di Cirebon hanya gara-gara tabrakan dua buah kendaraan.

Tanpa menjadikan pemujaan terhadap Orde lama yang jelas-jelas menyisakan sejumlah kesalahan besar yang menjadi titik tolak diskriminasi negara saat itu akibat gelora revolusioner yang tidak terkendali dan menggerogoti, termasuk persoalan PP 10 tahun 1959 yang menyebabkan terusirnya kalangan Tionghoa dari daerah-daerah pedalaman, diskriminasi hukum yang lebih sistematis terhadap kalangan Tionghoa yang dilakukan Orde Baru justru menunjukkan kekejamannya yang sungguh luar biasa. Dalam era orde baru, tercatat sejumlah peristiwa rasial yang terkait dengan kerusuhan terhadap kalangan Tionghoa, misalnya peristiwa kerusuhan yang terjadi hanya karena desas desus yang ternyata tidak benar atau bahkan intervensi politik penguasa seperti misalnya yang terjadi di Aceh tahun 1966 yang berakibat pengusiran paksa oleh militer dan eksodus besar-besaran ke luar Aceh dan Sumatera bagian Utara lainnya pada tahun 1966, kemudian munculnya sisi traumatik 1966-1967 sebagai akibat politik Anti Tiongkok akibat pengkambinghitaman RRT pada peristiwa G30S 1965, kemudian peristiwa 1973 di Bandung dan 1980 di Makassar. Uniknya, yang disalahkan menjadi akar penyebab pada umumnya adalah persoalan perbedaan pendapatan (lebih kaya; bukan perbedaan pendapat apalagi soal agama atau adat istiadat), namun sasaran tersebut ternyata mengena kepada kalangan Tionghoa secara etnis, bukan sekedar posisi ekonomisnya. Peristiwa Solo-Semarang-Kudus tahun 1980, lalu Peristiwa Pelabuhan Ratu, Sukabumi pada tahun 1994, kemudian berturut-turut (namun dengan nuansa yang agak berbeda, kali ini lebih tepatnya juga disertai serangan terhadap simbol-simbol
keagamaan Nasrani yang juga menjadi agama “pelarian” kalangan Tionghoa setelah tahun 1966, yang secara tradisional justru menjadikannya lebih bernuansa tidak bersahabat dengan kalangan Muslim yang dapat diprovokasi dengan cerita mengenai perang salib) di Rengas Dengklok 1995, lalu Makasar, Kediri, Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan dan Purwakarta pada tahun 1996 yang akhirnya berpuncak kepada Peristiwa 14 Mei 1998 di Jakarta, Tangerang, Medan, Solo, Makasar (lengkapnya dapat dilihat dalam berbagai buku yang dikeluarkan berkenaan dengan masing-masing peristiwa tersebut, termasuk juga laporan Tim Pencari Fakta).

Bagaimanapun, apabila dirunut lebih jauh, persoalan diskriminasi rasial terhadap kalangan Tionghoa tersebut memberikan luka bangsa yang sangat besar, pembohongan, segregasi dan stigmatisasi luar biasa yang kemudian menjadi memori ketakutan kolektif sebagai salah satu komponen bangsa. Tidak kurang berbagai peristiwa berbau rasial terhadap kalangan Tionghoa tersebut menimbulkan sejumlah pelanggaran pokok Hak-hak Asasi Manusia yang utama, yang untuk mudahnya akan dikalkulasi sebagai berikut:

– Hak atas hidup: berapa banyak mereka yang mati?

– Non diskriminasi terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, keyakinan, asal-usul, kebangsaan, sosial, kekayaan, kelahiran, status: Kematian perdata, rasialisme, penghancuran perempuan, penistaan pandangan politik, penghancuran keyakinan, stigmatisasi asal-usul dan keturunan, penghilangan marga, perendahan status

– Hak bebas dari penyiksaan atau merendahkan, termasuk percobaan kedokteran: berapa banyak yang disiksa, dianiaya dan trauma?

– Hak tidak dipidanakan untuk persoalan perdata: berapa banyak yang dipidana dan hak miliknya disita karena dianggap subversi, padahal sebenarnya memiliki hak milik yang sah atas usaha yang halal?

– Hak untuk tidak dikenakan pidana surut: apa salahnya menjadi anggota parpol atau ormas yang sah? Mengapa misalnya Baperki disangkut-sangkutkan dengan PKI dan kemudian disangkut-sangkutkan dengan seluruh kalangan Tionghoa?

– Hak sebagai subyek hukum: berapa banyak kematian perdata, kehilangan akses sosial?

– Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama: jelas sekali!!! Hak-hak lainnya  dengan akses maksimum yang mungkin sejauh keamanan dan ketertiban umum:

– Hak menentukan nasib sendiri sebagai bangsa: lihat efek militerisme sekarang

– Hak berkumpul: stigmatisasi terus dipelihara

– Hak berserikat: kalangan Tionghoa masih saja dicurigai

– Hak berpendapat dan berekspresi termasuk kebebasan informasi: pembunuhan karakter

– Hak bebas dari tindakan penahanan sewenang-wenang: tidak perlu disebutkan

– Hak mendapat akses pengadilan segera: idem

– Hak kesamaan di muka pengadilan: idem

– Hak kesamaan di muka hukum: idem

– Hak privacy, keluarga dan surat: sudah tidak ada harganya menjadi manusia

– Hak berkeluarga: lihat saja pengaruhnya terhadap anak mereka sampai sekarang

– Hak anak: dosa turunan yang sebenarnya juga bukan dosa

– Hak kepemiluan: hak untuk memimpin dihilangkan

– Hak perlindungan minoritas: imbas politiknya jelas

– Hak bermigrasi: ada kecurigaan terselubung
Hak-hak lain:

– Hak atas jaminan dan asuransi sosial: penghalangan akses

– Hak perlindungan keluarga: berkeyakinan saja sudah tidak bisa, dipaksa pula

– Hak hidup layak sandang, pangan dan papan: ekses dianggap sebagai kalangan kaya

– Hak sehat fisik dan mental: sudah terbaca, terdiskriminasi secara tidak langsung

– Hak atas pendidikan gratis: negara terlihat masih diskriminatif

– Hak partisipasi budaya, ilmu pengetahuan, dan penciptaan: lihat embel-embelnya

Konvensi khusus yang penting untuk dirujuk:

– Konvensi Hapus Diskriminasi Rasial

– Konvensi Hapus Diskriminasi Perempuan

– Konvensi Hak Anak

– Konvensi Anti Diskriminasi Pendidikan

– Deklarasi penghapusan intoleransi agama

– Deklarasi Mengenai Ras dan Prasangka Rasial

– Konvensi tentang Stateless

– Konvensi kebebasan berserikat

– Konvensi kebebasan berkumpul

– Konvensi perlindungan data individu

Posted in Uncategorized | Leave a comment

PEMUDA DAN SOSIALISASI

NARKOBA DI KALANGAN REMAJA

PENGERTIAN NARKOTIKANarkotika adalah semua bahan obat yang mempunyai efek kerja pada umumnya bersifat sebagai berikut :

– membius (menurunkan kesadaran)

– merangsang (meningkatkan semangat kegiatan/aktivitas)

– ketagihan (ketergantungan, mengikat, dependence);

– menimbulkan daya khayal (halusinasi)

Menurut undang-undang nomor 9 tahun 1976, jenis narkotika berasal dari tiga kelompok bahan atau tanaman, yaitu :

  1. Tanaman candu (opium) Getah tanaman candu yang sudah diolah akan menghasilkan candu mentah , dimana jika diolah lebih lanjut akan menghasilkan candu masak. Di dalam candu banyak terkandung alkaloid yang merupakan golongan racun khusus dalam tanaman. Alkaloid yang berperan utama dan sangat berbahaya yaitu morfin dan heroin (putaw)
    2. Tanaman kokain Kokain diperoleh dengan cara memetik daun tanaman coca, dikeringkan kemudian disuling di pabrik. Hasilnya berupa serbuk kokain yang berwarna putih dengan rasa pahit.

3. Tanaman ganja Tanaman ganja dapat tumbuh hampir di seluruh dunia
Selain dari tanaman, narkotika bisa berasal dari zat-zat kimia, contohnya yaitu ecstasy dan rohypnol/flunitrazepam.

II. DAMPAK DAN BAHAYA NARKOBA

Pemakaian narkoba pada manusia bisa menimbulkan efek khusus, baik dalam fungsi pemikiran, perasaan dan perilaku. Perubahan fungsional itu pada tahap awal mungkin dirasakan sebagai kenikmatan, akan tetapi dalam jangka panjang menjadi berbahaya karena dapat menimbulkan ketergantungan. Beberapa ciri ketergantungan tersebut antara lain :

keinginan atau hasrat yang tidak dapat ditahan untuk mendapatkan narkoba yang bersangkutan, dan ia akan menempuh cara apapun untuk mendapatkannya. kecenderungan untuk menambah takaran atau dosis pemakaian yang semakin lama semakain banyak.

Ketergantungan psikologis yaitu apabila tidak memperoleh narkobayang biasa dipakai akan menimbulkan perasaan cemas, gelisah, bingung, depresi dan gejala penyimpangan mental yang lain. Ketergantungan secara fisik yaitu apabila tidak mendapatkan narkoba, maka akan merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya,yang biasa disebut dengan gejala putus narkoba.
III. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI KALANGAN REMAJA untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya seperti : ngebut, berkelahi, bergaul dengan wanita, dsb.
untuk menentang atau melawan suatu otoritas (orangtua/guru). untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan-perbuatan sex yang menyimpang. untuk melepaskan diri dari kesepian dan memeperoleh pengalaman-pengalaman emosional. Untuk berusaha agar menemukan arti dari hidup di dunia ini. Untuk mengisi kekosongan dan perasaan bosan karena tidak mempunyai aktifitas yang cukup dan positif. Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan adanya problematika kehidupan yang tidak kunjung dapat teratasi. Untuk mengikuti kemauan teman dan memupuk rasa solidaritas sesama kawan; Karena didorong rasa ingin tahu, lalu melakukannya secara iseng (tindakan petualangan).

Posted in Uncategorized | Leave a comment